Selamat Datang

Senin, 28 Oktober 2013


BAHASA DAN MASYARAKAT #
1.        Bahasa dan Tutur
            Ferdinand de Saussure (1916) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa Perancis itu mempunyai pengertian yang sangat berbeda. Dalam bahasa Indonesia, lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Dalam bahasa Perancis istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langage ini bersifat abstrak.
            Istilah kedua dari Ferdinand de Saussure yakni langue dimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu. Sama dengan langage yang bersifat abstrak langue juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun langage adalah suatu sistem pola, keteraturan, atau kaidah yang ada atau dimiliki manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
            Berbeda dengan langage dan langue yang bersifat abstrak, maka istilah yang ketiga yaitu parole bersifat konkret, karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Jadi, sekali lagi parole itu tidak bersifat abstrak, nyata ada dan dapat diamati secara empiris.
            Perlu diketahui bahwa yang menjadi objek studi linguistik adalah langue sebagai satu sistem bahasa tertentu, tetapi dilakukan melalui parole. Mengapa? Karena parole inilah yang dapat diobservasi secara empiris. Langue itu tidak dapat diamati secara empiris karena sifatnya yang abstrak; padahal setiap penelitian harus dilakukan melalui data empiris itu.
            Dari pembahasan mengenai ketiga istilah di atas terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang sangat berat, karena selain menanggung konsep istilah langage, langue, dan parole itu, juga menanggung konsep atau pengertian lain. Contoh penggunaan bahasa dapat kita lihat dari kalimat-kalimat berikut !
-          Sesama aparat penegak hukum haruslah ada kesamaan bahasa, agar keputusan yang diambil tidak bertentangan.
-          Bahasa militer tak perlu digunakan dalam menghadapi kerusuhan di sana.
-          Nyatakanlah rasa cintamu dalam bahasa bunga. Hasilnya pasti akan lebih baik.
-          Sang Raja yang sedang dimabuk kemenangan itu tidak mengetahui bahasa sang permaisuri telah tiada.
-          Agak sukar juga berbicara dengan orang yang gila-gila bahasa itu.
Kelima kata bahasa di atas tidak ada hubungannya baik dengan kata langage, langue, maupun parole. Yang pertama berarti ‘kebijakan, pandangan’; yang kedua berarti ‘cara’; yang ketiga berarti ‘alat komunikasi’; yang keempat berarti ‘bahwa’; dan yang kelima berarti ‘agak’.
            Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarak tertentu ini memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti barangkali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya, penduduk yang berada di Banyumas, di Semarang dan di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.
            Adanya saling mengerti antara penduduk di Banyumas, Semarang, dan Surabaya adalah karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk di Banyumas dengan penduduk di Garut Selatan tidak ada saling mengerti di antara mereka sesamanya. Karena parole-parole yang digunakan di antara penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem. Perbedaan itu menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti, menandai adanya dua sistem langue yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan di kedua penduduk tersebut kita menyebutnya ada dua buah sistem langue, yaitu bahasa Jawa di Banyumas dan bahasa Sunda di Garut Selatan.
            Dengan demikian kita menyebut dua parole dari dua masyarakat yang berbeda sebagai dua buah bahasa yang berbeda adalah karena tiadanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini adalah berdasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai kasus ada ditemui adanya dua masyarakat bahasa yang bisa saling mengerti, tetapi menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan nama yang berbeda. Misalnya, penduduk Malaysia dan Penduduk Indonesia. Karena penduduk Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia karena secara linguistik ada persamaan sistem dan subsistem di antara kedua parole yang digunakan, namun penduduk Malaysia menyatakan dirinya berbahasa Malaysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya berbahasa Indonesia. Maka dalam kasus ini penamaan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia bukanlah berdasarkan kriteria linguistik, melainkan berdasarkan kriteria politik.
            Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita akrab dengan seseorang kita akan dapat mengenali orang itu hanya dengan mendengar suaranya saja (orangnya tidak nampak). Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek.
Dari penjelasan di atas, secara linguistik dapat disimpulkan bahwa:
-          Setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek.
-          Dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti, tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda. Contohnya bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia.

2.        Verbal Repertoires
Verbal repertoire sebenarnya ada dua macam yaitu yang memiliki setiap penutur secara individual, dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan. Yang pertama mengacu pada alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Yang kedua mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam suatu masyarakat, beserta dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro. Sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro (Appel 1976: 22).

3.        Masyarakat Tutur
Masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Satu hal lagi, untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya perasaan di antara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang sama. (Lihat Djokokentjono 1982).
Fishman (1976:28) menyebut “masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya”. Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang.
Kompleksnya suatu masyarakat tutur ditentukan oleh banyaknya dan luasnya variasi bahasa di dalam jaringan yang di dasari oleh pengalaman dan sikap para penutur di mana variasi itu berada. Verbal repertoir suatu masyarakat tutur merupakan refleksi dari repertoir seluruh penuturnya sebagai anggota masyarakat itu (Fishman 1975: 32). Refleksi ini menyangkut luas jangkauan, pedalaman, pemahaman, dan keluwesan repertoir itu.
Dilihat dari sempit dan luas repertoirnya, dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur, yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakainya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula; dan (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.
4.        Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat
Pokok pembicaraan sosiolinguistik adalah hubungan antara bahasa dan penggunaannya di dalam masyarakat. Hubungan yang terdapat di antara bahasa dengan masyarakat adalah adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat. Misalnya, untuk kegiatan pendidikan kita menggunakan ragam baku, dan untuk kegiatan mencipta karya seni (puisi atau novel) kita menggunakan ragam sastra.Adakah hubungan antara bahasa dengan tingkatan sosial di dalam masyarakat ? Untuk jawabannya, kita lihat dulu apa yang dimaksud dengan tingkatan sosial di dalam masyarakat itu. Adanya tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan, kalau ada; dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula. Tetapi ini tidak mutlak. 
            Untuk melihat adakah hubungan antara kebangsawanan dan bahasa, kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa. Mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat (1967:245) membagi masyarakat Jawa atas empat tingkat, yaitu (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, dan (4) ndara. Berdasarkan tingkat-tingkat itu, maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat sosialnya. Jadi, bahasa atau ragam bahasa yang digunakan di kalangan wong cilik tidak sama dengan wong sudagar, dan lain pula dari bahasa yang digunakan para priyayi. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial; lazim juga disebut sosiolek (Nababan 1984). Selain itu, pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Contoh, kalau si penanya mempunyai status sosial yang lebih rendah dari si penjawab, maka biasanya digunakan bentuk krama, sedangkan si penjawab menggunakan bentuk ngoko; kalau si penanya mempunyai status sosial yang lebih tinggi dari si penjawab, maka dia menggunakan bentuk ngoko, sedangkan si penjawab menggunakan bentuk krama; kalau status sosial penanya dan penjawab sederajat, maka si penanya menggunakan bentuk krama, si penjawab pun menggunakan bentuk krama; dan si penanya menggunaka bentuk ngoko maka si penjawab pun menggunakan bentuk ngoko.
            Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa memang ada korelasi antara tingkat sosial di dalam masyarakat dengan ragam bahasa yang digunakan. Lalu, sejalan dengan kesimpulan itu, adanya hubungan antara kode bahasa dengan kelas sosial penuturnya, barangkali perlu juga dikemukakan adanya teori dari Basil Bernstein yang dikenal dengan Deficit Hypotesis (Nababan 1984 menyebutnya Hipotesis kerugian).
            Teori ini yang mengangkat nama Bernstein menjadi terkenal sejak 1959 didasarkan atas adanya perbedaan kode bahasa yang digunakan golongan rendah dan golongan menengah. Anak-anak golongan menengah menggunakan variasi atau kode bahasa yang berbentuk lengkap di rumah, sedangkan anak-anak golongan buruh rendah dibesarkan dalam lingkungan variasi bahasa yang terbatas, atau tidak termasuk lengkap. Di dalam pendidikan formal di sekolah digunakan sebagai bahasa pengantar bahasa ragam baku yang mirip atau dekat dengan variasi bahasa yang berbentuk lengkap. Oleh karena itu, anak-anak dari golongan buruh rendah harus mempelajari bahasa ragam baku di luar pelajaran-pelajaran lain. Mereka menjadi dirugikan dengan latar belakang bahasa mereka yang berbentuk tidak lengkap itu. Jadi, teori Bernstein ini menyatakan ada hubungan antara keberhasilan dalam belajar di sekolah dengan latar belakang kebahasaan anak-anak dalam lingkungannya di rumah. Namun banyak pakar yang tidak sependapat dengan teori tersebut, sebab keberhasilan dalam belajar tidaklah mutlak tergantung pada faktor penguasaan bahasa, melainkan banyak faktor lain (seperti motivasi, intelegensi, dan keadaan sosiokultural) yang turut menentukannya.












KESIMPULAN
Pokok pembicaraan sosiolinguistik adalah hubungan antara bahasa dengan penggunaannya dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan hubungan tersebut adalah adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat. Misalnya, untuk kegiatan pendidikan kita menggunakan ragam baku, dan untuk kegiatan mencipta karya seni (puisi atau novel) kita menggunakan ragam sastra.
Ferdinand de Saussure membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole yang berasal dari bahasa Perancis. Karena dalam bahasa Indonesia lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Langage dan langue bersifat abstrak, sedangkan parole bersifat konkret atau nyata.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro. Sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional dan sosiolinguistik makro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar