Selamat Datang

Senin, 28 Oktober 2013

FRASA #

A.    FRASA
1.    Pengertian Frasa
Frasa berupa kelompok kata yang tidak predikatif. Artinya, di dalam kelompok kata tersebut tidak terdapat predikat. Jadi, biar kelompok kata terdiri atas beberapa kata, selagi tidak ada predikat, kelompok kata itu masih tergolong frasa.
Misalnya:
a.    Gunung tinggi itu (sebuah frasa, satu fungsi, Subjek)
b.    Mahasiswa baru Universitas Haluoleo Kendari (sebuah frasa, satu fungsi, Subjek).
Dalam berbagai batasan para ahli, frasa selalu didefinisikan sebagai satuan bahasa yang terdiri atas dua konstituen atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Syarat dari dua konstituen atau lebih ini harus memiliki keterkaitan atau hubungan (terutama makna) yag erat. Konstitusi yang satu boleh menjadi inti/head dari konstituen lainnya, dan konstituen yang lain dapat menjadi atribut atau penjelas dari konstituen inti.
Dalam analisis klausa/kalimat, sebuah konstituen dapat disebut frasa apabila konstituen tersebut dapat menduduki satu fungsi kalimat, apakah fungsi subjek, predikat, objek, pelengkap, atau keterangan. Contoh:
Ayah saya sedang membaca sebuah buku di teras rumah
           S                P              O            Ket.
Frase adalah konstituen pengisi fungsi-fungsi sintaksis, maka salah satu unsur frasa itu tidak dapat dipindahkan “sendirian”. Jika ingin dipindahkan, maka harus dipindahkan secara keseluruhan sebagai satu kesatuan. Jadi, kata tidur dalam frasa di kamar tidur yang ada dalam kalimat tersebut tidak dapat dipindahkan, misalnya, menjadi kalimat *Tidur nenek membaca komik di kamar; yang mungkin ialah kalau dipindahkan keseluruhannya, seperti pada kalimat Di kamar tidur nenek membaca komik.
Berdasarkan uraian dan penjelasan tersebut, frasa dapat dicirikan sebagai berikut:
(1)    Terdiri atas dua konstituen pembentukan atau lebih yang memiliki kedekatan hubungan.
(2)    Konstituen frasa adalah kata (bukan morfem).
(3)    Hanya menduduki atau mengisi satu fungsi (slot, istilah Badudu).
(4)    Merupakan konstituen klausa.
(5)    Bagian-bagian frasa tidak boleh dipertukarkan atau dibalik susunannya
Contoh: Baju biru adik saya sangat bagus menjadi sangat bagus / baju biru // adik saya bukan bagus sangat / biru baju // saya adik.
(6)    Frasa dapat diperlukan dengan tambahan kata di depan, di tengah, atau di belakang.
Contoh: baju biru diperluas dengan
           Baju yang biru
           Sehelai baju biru atau baju biru muda.
2.    Penjenisan Frasa Berdasarkan Distribusi Konstituen
a.    Frasa Eksosentris
Frasa eksosentris adalah frasa yang tidak mempunyai hulu atau inti.
Contoh:
a.    Di tanah kelahirannya
b.    Setelah besar
c.    Dengan pinsil
d.    Karena rajin
Perhatikan contoh pemakaiannya dalam kalimat berikut ini:
1.    Ia membangun rumah di tanah kelahirannya
Frasa di tanah kelahirannya merupakan jenis frasa eksosentris. Kalau begitu frasa itu tidak memiliki inti/head. Artinya, unsur-unsurnya tidak bisa dilesapkan. Buktinya:
a.    *Ia membangun rumah di.
b.    *Ia membangun rumah tanah kelahirannya.
Kedua konstruksi itu tidak berterima karena menghilangkan salah satu unsur frasa. Itulah ciri frasa eksosentris. Karakter frasa di tanah kelahirannya berlaku pula bagi frasa setelah pukul empat sore, dengan pinsil, karena rajin. Buktinya:
2.    Kamu bisa jago bermain bola setelah besar.
3.    *Kamu bisa jago bermain bola setelah.
4.    *Kamu bisa jago bermain bola besar.
5.    Tulis kalimat ini dengan pinsil.
6.    *Tulis kalimat ini dengan.
7.    *Tulis kalimat ini pinsil.
Konstruksi nomor 3, 4, 6, 7, tidak berterima karena menghilangkan salah satu unsur frasanya. Itu sebagai tanda bahwa unsur frasa eksosentris tidak memiliki inti /kepala atau head.
Frasa yang konstituen pusatnya tidak mampu berdistribusi sama dengan frasa yang dibentuknya disebut frasa eksosentris. Kategori/kata yang mengisi frasa eksosentris yang biasanya berupa preposisi dan konjungsi. Karena itu biasa disebut frasa preposisional dan frasa konjungsional. Frasa preposisional merupakan frasa yang terdiri atas preposisi dan konstituen lain berupa N/pronomina. Contoh:
•    Perkara itu telah dibawa ke meja hijau
•    Mereka sedang menuju ke terminal bus
Frasa konjungsional berawal dari konstituen konjungsional dan diikuti konstituen lain yang berupa kata atau frasa atau frasa berkategori lain. Contoh:
•    Anak itu membelah kayu dengan kapak
•    Kain ini saya beli untuk ibu saya
•    Saya bekerja sampai sore hari
Di samping pembagian di atas, Badudu (1986:8) membagi frasa eksosentris menjadi dua, yaitu frasa eksosentris objektif dan frasa eksosentris direktif. Frasa eksosentris objektif, seperti pada konstruksi berikut.

•    Supir itu menghentikan kendaraannya.
*Supir itu menghentikan (apa ?)
*Supir itu kendaraannya. (?)
•    Paman tidak dapat memenuhi permintaanku.
*Paman tidak dapat memenuhi. (apa?)
*Paman tidak dapat permintaanku. (?)
Frasa eksosentris direktif sama seperti uraian dalam frasa preposisional dan konjungsional. Misalnya, ke toko dalam konstruksi berikut.
•    Ayah pergi ke toko.
*ayah pergi ke. (mana?)
*ayah pergi toko. (?)

b.    Frasa endosentris
Frasa endosentris adalah frasa yang konstituen intinya berkategori sama dengan kategori seluruh frasa. Artinya, salah satu komponennya itu dapat menggantikan kedudukan keseluruhannya. Misalnya, sedang membaca dalam kalimat “Nenek sedang  membaca komik di kamar” komponen keduanya yaitu membaca dapat menggantikan kedudukan frasa tersebut, sehingga menjadi kalimat “Nenek membaca komik di kamar”.
Contoh lain, frasa mahal sekali dalam kalimat “Harga buku itu mahal sekali” dapat digantikan oleh komponen pertamanya, yaitu mahal, sehingga menjadi kalimat “Harga buku itu mahal”.
Frasa endosentrik ini lazim juga disebut frasa modifikatif karena komponen keduanya, yaitu komponen yang bukan inti atau hulu (Inggris head) mengubah atau membatasi makna komponen inti atau hulunya itu. Umpamanya, kata membaca yang belum diketahui kapan terjadinya, dalam frasa sedang membaca dibatasi makna oleh kata sedang sehingga maknanya itu menjadi ‘perbuatan membaca itu tengah berlangsung’. Begitu juga kata sekali dalam frasa mahal sekali membatasi makna kata mahal yang masih umum akan tingkat kemahalannya menjadi tertentu. Jadi, komponen kedua dari frasa itu (komponen pertamanya yang menjadi inti frasa) memodifikasi makna komponen intinya. Perlu dijelaskan, letak komponen inti bisa pada posisi depan, seperti pada frasa mahal sekali, merah jambu, dan gadis cantik; tetapi dapat pula pada posisi belakang, seperti sedang membaca, sangat lincah, dan seekor kucing.
Selain itu frasa endosentrik ini lazim juga disebut frase subordinatif  karena salah satu komponennya, yaitu yang merupakan inti frasa berlaku sebagai komponen atasan, sedangkan komponen lainnya, yaitu komponen yang membatasi, berlaku sebagai komponen bawahan. Sejalan dengan posisi komponen intinya, maka komponen atasan itu bisa terletak di sebelah depan, bisa juga di sebelah belakang. Perhatikan contoh berikut, serta arah panahnya!
         sedang           membaca    mahal               sekali
   
    teh                 celup    sebuah              novel

Frasa yang potensial untuk menjadi frasa endosentris adalah frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, dan frasa numeral. Berikut contoh-contoh frasa endosentrik.
1.    Ladang itu ditanami jagung,
2.    Karyawan kantor itu sedang berlibur,
3.    Rumah saya dekat sekali,
4.    Saudaraku enam orang.
Konstruksi yang dicetak miring tersebut termasuk frasa endosentris berupa frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektifal, dan frasa numeral, karena inti dari frasa tersebut berupa N ladang, V berlibur, Adj dekat, dan Num. enam. Untuk membuktikan hal itu, perhatikan konstruksi berikut ini.
(1a) Ladang ditanami jagung
        *itu ditanami jagung
(2a) Karyawan kantor itu berlibur
        *Karyawan kantor itu sedang
(3a) Rumah saya dekat
          *Rumah saya sekali
(4a) saudaraku enam
        *Saudaraku orang
Frasa endosentris dibedakan atas tiga kategori, yaitu (1) frasa endosentris koordinatif, (2) frasa endosentris atributif, (3) frasa endosentris apositif.
1.    Frasa Endosentris Koordinatif
Frasa endosentris koordinatif adalah frasa yang konstituen-konstituennya memiliki kedudukan setara. Frasa endosentris koordinatif dapat diisi oleh kategori nomina, verba, atau adjektiva, seperti pada contoh berikut.
(1)    Ibu bapak anak itu baik sekali
(2)    Anda boleh makan minum di sini
(3)    Badan orang itu besar tinggi.
Konstituen-konstituen frasa yang dicetak miring pada ketiga konstruksi tersebut semuanya merupakan inti sehingga dapat berdistribusi sama dengan distribusi seluruh frasa. Dengan demikian frasa pada konstruksi (1 s.d. 3) dapat diurai sebagai berikut.
(1a) Ibu anak itu baik sekali atau bapak anak itu baik sekali.
(2a) Anda boleh makan di sini atau Anda boleh minum di sini.
(3a) Badan orang itu besar atau Badan orang itu tinggi.
Selain itu, definisi lain dari frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat, dan secara potensial dapat dihubungkan oleh konjungsi koordinatif, baik yang tunggal seperti dan, atau, tetapi, maupun konjungsi terbagi seperti baik...baik, makin...makin, dan baik...maupun... . frase koordinatif ini mempunyai kategori sesuai dengan kategori komponen pembentuknya. Contoh: sehat dan kuat, buruh atau majikan, makin terang makin baik, dan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Frase koordinatif yang tidak memnggunakan konjungsi secara eksplisit, biasanya disebut frase parataksis. Contoh hilir mudik, tua muda, pulang pergi, sawah ladang, dan dua tiga hari.
2.    Frasa Endosentris Atributif
Frasa endosentris yang atributif memiliki anggota yang kedudukannya tidak sama. Ada anggota frasa yang menduduki konstituen inti dan ada anggota frasa yang berposisi sebagai atribut (bukan inti). Perhatikan contoh berikut.
(1)    Tukang itu membuat kursi kayu
(2)    Rumah itu dicat
(3)    Penjual sayur berkeliling setiap pagi
Konstituen inti dari frasa tersebut adalah kursi, rumah, dan pedagang, yang lainnya sebagai atribut. Selengkapnya, dapat dilihat berikut ini.
(1a) Tukang itu membuat kursi
         *tukang itu membuat kayu
(2a) Rumah saya dicat
          *itu dicat
(3a) Penjual berkeliling setiap pagi
         *sayur berkeliling setiap pagi
3.    Frasa Endosentris Apositif
Frasa endosentris apositif mirip dengan frasa endosentris atributif. Konstituen penjelas adalah frasa yang apositif. Konstituen apositif merupakan konstituen yang berkedudukan sebagai penjelas tambahan. Dalam  pengucapan, konstituen yang bertindak sebagai tambahan itu ditandai oleh jeda sebagai pembatas inti dan tambahan. Dalam bahasa tulis, pembatas itu ditandai oleh tanda koma. Perhatikan contoh berikut.
(1)    Muhammad, nabi yang terakhir itu, wafat di Madinah.
(2)    Kendari, ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara memiliki wilayah yang luas.
Konstituen yang dicetak miring tergolong frasa endosentris apositif sehingga dapat saling mengganti.
(1a) Muhammad wafat di Madinah
(1b) Nabi yang terakhir itu wafat di Madinah
(2a) Kendari memiliki wilayah yang luas
(2b) Ibukota Propinsi Sultra memiliki wilayah yang luas
Catatan penting:
Konstruksi yang tidak berterima diberi tanda bintang (*). Jadi, kalau melihat tanda bintang dalam linguistik, itu menandakan bahwa bentuk konstruksi itu tidak berterima atau ungrammatika.




SUMBER MATERI
Materi Pokok Perkuliahan SINTAKSIS BAHASA INDONESIA                     Oleh Drs. La Yani Konisi, M. Hum
Chaer, Abdul. 2007. LINGUISTIK UMUM. Jakarta: Rineka Cipta
Marafad, La Ode Sidu dan Nirmala Sari. 2011. MUTIARA BAHASA. Yogyakarta: Pustaka Puitika.




TELAAH KURIKULUM DAN BUKU TEKS #


Soal:
1.    Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip pengembangan KTSP dan KBK!
2.    Tuliskan landasan-landasan hukum penerapan KTSP dan KBK!

A.    Prinsip Pengembangan KTSP

Dalam Standar Nasional Pendidkan dikemukakan bahwa kurikulum tingkat satuan pendidkan ( KTSP) adalah kurikulum operasinal yang disusun oleh masing-masing satan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh Satuan Pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yng dikembangkan oleh Badan Standar Nasional (BSNP). Dan berikut ini akan diuraikan prinsip-prinsip KTSP.


1.    Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya

Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dalam menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.

2.    Beragam dan terpadu

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku budaya, dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu. Kurikulum tersebut disusun secara berkaitan dan berkesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi.

3.    Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni

Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

4.    Relevan dengan kebutuhan kehidupan

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi di pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk didalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.

5.    Menyeluruh dan berkesinambungan

Substansi kurikulum mencakup keseluruhan, dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.

6.    Belajar sepanjang hayat

Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan.

7.     Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Kurikulum dikembangkan dengan memerlukan kepentingan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.



B.    Prinsip Pengembangan KBK
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Dengan demikian, implementasi kurikulum dapat menumbuhkan tanggung jawab, dan partisipasi peserta didik untuk belajar menilai dan mempengaruhi kebijakan umum (public policy), serta memberanikan diri berperan serta dalam berbagai kegiatan, baik di sekolah maupun dimasyarakat.
Ada sembilan prinsip yang perlu dijadikan dasar pengembangan KBK yakni sebagai berikut:
1.    Peningkatan keimanan, budi pekerti luhur dan penghayatan nilai- nilai budaya

    Bangsa indonesia adalah bangsa yang beragama, berbudi pekerti luhur dan menghargai nilai- nilai budaya. Oleh karena itu melalui KBK TK, hal tersebut perlu digali dipahami, dan di amalkan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa generasi penerus bangsa sangat membutuhkan ketiga hal tersebut guna mengembangkan bangsa indonesia yang akan datang.
2.    Pengembangan integritas nasional

    Pengembangan KBK TK perlu memperhatikan pengembangan integritas pada diri anak. Mereka perlu mengetahui dan mrmahami bahwa Indonesia terdiri atas banyak suku bangsa dan beragam agama, budaya, bahasa.Dengan demikian mereka akan paham bahwa perbedaan- perbedaan tersebut bukan merupakan hal yang harus dilebur, tetapi jusru harus ditumbuh kembangkan secara berdampingan.
3.    Keseimbangan antara berbagai aspek perkembangan

    Makna dari prinsip ini adalah bahwa pengalaman belajar anak hendaknya dirancang dengan memprhatikan keseimbngan antara berbagai perkembangan anak yang meliputi etika, logika, estetika. Howard gardner ( 1998) menyatakan bahwa jika kita lebih mengutamakan salah satu bagian logika berarti kita hanya mengembangkan sebagian otak saja. Oleh karena itu, jika kuri kulum yang dikembangkan hanya ber orientasi pada pengembangan logoka intelektual, maka cenderung akan melahirkan anak yang hanya cerdas secara intelektual saja.
4.    Perkembangan intelektual dan teknologi informasi

    Artinya kurikulum  Tkologi dan  perlu dirancang untuk memfasilitasi anak mengenal teknologi dan informasi, baik pengenalan terhadap perangkatnya maupun kemampuan meng akses dan menyebar luaskan pengetahuan dan teknologi. Contoh dari penerapan orinsip ini antara lain: anak dibawa bertamasya keplanetarium untuk mengamati benda- benda langit dan mendiskusi kan nya dengan nara sumber yang ada di sana.
5.    Pengembangan kecakapan hidup

    Kecakapan hidup adalah kemampuan, kesanggupan dan ketrampilan yang diperlukan untuk menjalan kan kehidupan, terutama untuk bekerja. Fajar(2003) berpandapat bahwa katagori kecakpan hidup sebagai berikut:
a.    Kecakapan hidup personal terdiri dari:
1. Kesadaran diri
Terdiri atas kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial , damn makhluk lingkungan serta sadar akan potensi diri dan terdorong untuk mengembangkan
            2. Kecakapan berfikir
    Terdiri atas kecakapan menggali informasi, mengolah informasi dan mengambil keputusan dengan cerdas, serta memecahkan masalah secara arif dan kreatif .
b.    Kecakapan sosial
1.Kecakapan komunikasi
Terdiri dari kecakapan mendengarkan, berbicara, dan menulis pendapat atau gagasan.
    2. Kecakapan kerjasama
Terdiri atas kecakapan sebagai teman kerja yang menyenangkan dan sebagai pimpiman yang berempati.
c.    Kecakapan akademik
Terdiri atas kecakapan mengidentifiksi variabel dan hubungan satu dan yang lainnya, merumuskan hipotesis, serta merancang dan melaksanakan penelitian
d.    Kecakapan vokasional
Kecakapan vokasional merupakan sikap dasar untuk menjadi produktif.
6.    Pilar pendidikan

    KBK mengedepankan empat pilar pendidikan untuk mengorganisasikan fondasi belajar anak, yaitu:
a.    Belajar untuk memahami.
b.    Belajar untuk berbuat kreatif.
c.    Belajar untuk hidup dalam kebersamaan.
d.    Belajar untuk membangun dan mengekspresikan diri yang dilandasi dengan pilar sebelumnya.

7.    Komprehensif dan berkesinambungan

    Artinya kurikulum sebaiknya mencakup keselurhan pembelajaran dimensi perkembangan anak dan materi pembelajaran disajikan secara berkesinambungan.
8.    Belajar sepanjang hayat

    Artinya pengembangan model pembelajaran dirancang agar hasil belajar saat ini dapat menjadi dasar bagi anak untuk mampu membelajarkan diri pada perkembangan berikutnya ( learning to learn) dan mendorong anak menjadi pebelajar yang efektif melalui proses belajar untuk menjadi sesuatu ( learning to be ) yakni menjadi murud yang sesungguhnya.
9.    Diversifikasi kurikulum

    Kurikulum dikembangkan dengan prinsip meng akomodasi keberagaman sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta  didik.

C.    Landasan Hukum KTSP
a.    Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 sampai dengan pasal 38.
b.    Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 5 sampai dengan pasal 18 dan pasal 25 sampai dengan pasal 27.
c.    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
d.    Peraturan Menteri pendidikan nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
e.    Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada Pasal 6 Ayat 1 disebutkan bahwa Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut; (1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) Kelompok mata pelajaran estetika; (5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan.
f.    Muatan KTSP merupakan sejumlah mata pelajaran yang merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu. Materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri juga termasuk dalam isi kurikulum. Disebutkan pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 bahwa kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi di setiap tingkat dan semester. Kompetensi tersebut dapat berupa pemenuhan standar kompetensi dan kompetensi dasar proses pembelajaran yang dilaksanakan.
g.    Undan-undang, Peraturan Pemerintah, dan Permin sebagai berikut; (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; (3) Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2006 tentang Standar Isi; (4) Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan; (5) Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005.
h.    sesuai dengan bunyi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 ayat 2 , yakni bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan , potensi daerah, peserta didik.

D.    Landasan Hukum KBK
Pencapaian pendidikan yang bermutu menuntut pengelolaan sekolah secara profesional. Salah satu keprofesionalan yang dapat dilakukan adalah memberikan kewenangan kepada sekolah dalam pengambilan keputusan penyelenggaraan program pendidikan. Landasan hukum untuk penyelenggaraan KBK mengacu pada:
a.    Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
b.    Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Daerah, salah satu kewenangan yang didesentralisasikan pada daerah adalah pengelolaan bidang pendididkan. Dan pemerintah mempunyai kewenangan menetapkan sandar kompetensi siswa dan wara belajar.



SEJARAH SASTRA #


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Nama pujangga baru mempunyai dua pengertian, yang satu dengan yang lain sangat erat hubungannya. Dua pengertian tersebut ialah:
1.    Pujangga baru sebagai nama majalah dan
2.    Sebagai nama angkatan Sastra Indonesia.
Pujangga baru sebagai nama majalah mengalami dua periode penerbitan, yaitu pujangga baru sebelum perang (Juli 1933-Maret 1942) dan sesudahperang (Maret 1948-Maret 1953).
Di dalam angkatan Pujangga Baru berkumpul sekelompak pengarang yang memiliki berbagai keanekaragaman. Berlainan halnya dengan Angkatan Balai Pustaka, yang sebagian besar pengarangnya berasal dari satu lingkungan daerah dan dari satu lingkungan keyakinan hidup.
Walaupun para pengarang Pujangga Baru memiliki suatu keanekaragaman, mereka merupakan suatu angkatan karena mereka terikat oleh satu cita-cita yang sama dan hendak mereka perjuangkan.mereka semuanya bercita-cita hendak membentuk kebudayaan baru, kebudayaan persatuan kebangsaan Indonesia.
Keanekaragaman yang terdapat pada angkatan pujangga baru itu, misalnya tampak pada:
1.    Daeerah asalnya: Bali (I Gusti Nyoman Panji Tisna), Madium (Sutomo Jauhar Arifin), Sangihe (Marius Ramis Dayoh); Minahasa (J.E. Tatengkeng), Tapanuli (S. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan sebagainya), Padan (Rustam Efendi), Bangka (Hamidah), Aceh (M. Ali Hasyim), Langkat (Amir Hamzah), dan Maluku (Paulus Supit);
2.    Kepercayaan agamanya: Nasrani (J.E. Tatengkeng), Hindu Bali (I Gusti Nyoman Panji tisna), Islam (Amir Hamzah, S. Takdir Alisjabana, dan sebagian besar pengaran Pujangga Baru yang lain).
Hal-hal tersebut besar pengaruhnya bagi perkembangan karya sastra pada angkatan itu, terutama bai perkembangan kosakatadan perluasan unsur-unsur penceritaan.
Pujangga Baru sebagai suatu angkatan meliputi sejumlah pengarrang yang kesemuanya berusaha hendak mengadakan pembaharuan di bidang kebudayaan Indonesia. Karena majalah tempat menyuarakan cita-cita mereka itu bernama Pujangga Baru dan terbit pertaama kalinya pada bulan Juli 1933 maka angkatan pujangga baru disebut juga Angkatan 33 atau Angkatan 30.
Berdasarkan karya sastra buah pikir mereka, karakteristik Angkatan Pujanga Baru kiranya dapat dituturkan sebagai berikut.
1.    Tema pokok cerita pada umumnya bukan lagi berkisar padaa masalah kawin paksa atau masalah adat yang hidup di daerah-daerah, melainkan masalah kehidupan kota atau kehidupan masyarakat medern.
2.    Sudah jelas mengandung napas kebangsaan atau unsur nasionalitas, baik karangan yang berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi. Puisi-puisi Asmara Hadijelas sekali mengandung unsur nasionalitas itu sehinga ia serin dijuluki penyair api nasionalisme.
3.    Memiliki kebebasan dalam menentukan bentuk pengucapan sesuai dengan pribadinya. Angkatan pujangga baru melepaskan diri dari ikatan bentuk-bentuk tradisi lama dan juga merasa tidak terikat oleh syarat-syarat yang ditentukan oleh pihak penguasa. Kebebasan ini merangsang tumbuhnya keanekaragaman pada karya sastra. Jika sastra Balai Pustaka sebagian besar berupa novel, sastra Pujangga Baru meliputi bentuk-bentuk: novel, cerpen, esai, kritik, dan puisi dengan bermacam-macam bentuk.
4.    Bahasa sastra Pujangga Baru adalah bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat yang dalam beberapa hal menyimpang dari bahasa yan dipakai dalam sastra resmi Balai pustaka.
5.    Baik prosa maupun puisinya sebagian besar mengandung suasana romantik, bahkan sering dikatakan romantik idealistik.
6.    Adanya unsur pengaruh dari sastra lain, terutamadari Angkatan 80 (de Tachtigers Beweging) di negeri Belanda. Da dalam usahanya hendak mencari bentuk pengucapan yang baru, para pengarang pujangga baru berkenalan dengan angkatan 80; yang keduanya merasakan semangat hidup yang sama, yaitu sama-sama menentang sastra sebelumnya yan dianggap sudah beku. Kebetulan pua pada masa itu bangsa Indonesia ada di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda.
B.    Tujuan
     Tujuan disusunnya Mmakalah ini disamping sebagai tugas mata kuliah kajian prosa fiksi adalah untuk mengidentifikasi serta mendalami aspek-aspek yang terdapat dalam sastra periode tahun ‘30.

C.    Manfaat
Manfaat yang dapat diperolah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang sastra periode tahun 30 angkatan Pujangga Baru
2.    Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang sastra periode tahun 30 di luar pujangga baru.

D.    Rumusan masalah
Dari pemaparan di atas, adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Menganalisis sastra periode tahun 30 angkatan Pujangga Baru
2.    Menganalisis sastra periode tahun 30 di luar pujangga baru

BAB 11
PEMBAHASAN
A.    Sastra Periode Tahun ’30 Angkatan Pujanga Baru
Para Pengarang Pujangga Baru telah diklasifikasikan di dalam buku antoloinya yan berjudul Pujangga Baru, prosa dan puisi, H.B. jassin telah mencoba mengumpulkan beberapa tulisan dari pengarang yang dipandangnya sebagai pengarang pujangga baru. Kecuali ima tokoh penting Pujangga Baru separti STA, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Moh. Yamin, terdapat nama-nama pengarang yang lain, seperti M. Taslim Ali, Sutomo Jauhar Arifin, L.K. Bohang, M.R. Dayoh, Hamidah, Rustam Efendi, Asmara Hadi, dan lain-lain.
Beberapa pengarang Pujangga Baru secara ringkas dibicarakan sebagai berikut.

1.    Sutan Takdir Alisjahbah

Sultan Takdir Alisjahbah lahir di Natal, Tapanuli, 11 Februari 1908. Ia pernah bekerja sebagai redaktur kepala di Balai Pustaka pada tahun 1930. Oleh Teeuw, pengarang ini dilukiskan sebagai orang yang banyak memiliki keahlian dan kecapakan: pengarang novel, pengarang esai, pengarang tata bahasa, pengarang filsafat, penyair, ahli hukum, ahli kebudayaan, seorang usahawan, dan juga seorang politikus yang sadar memperjuangkan kemajuan bangsanya. Banyaknya kecakapan itu seringberakibat pekerjaan menjadi kurang tetapmutunya dan sering tidak mendalam pula.sebagai usahawan ia memimpin percetakan dan penerbita PustakaRakyat, dan tiga majalah yang pernah dibawah asuhannya ialah Pembina Bahasa Indonesia, Pujangga Baru, Ilmu Teknik dan hidup. Sesudah Pujangga Baru menghentikan penerbitannya pada tahun 1953, ia menerbitkan majalah Konfrontasi, yang tidak lama usianya.
Hasil karangan Sultan Takdir Alisjahbana adalah:
a.    Yang berupa novel:
•    Tak putus Dirundung Malang (1929)
•    Dian yang Tak Kunjung Padam (1932)
•    Anak Perawan di Sarang Penyaamun (1932)
•    Layar Terkembang (1936)
•    Grotta Assurra: Kisah Chinta dan Chita (tiga jilid, 1970-1971)
b.    Yang berupa kumpulan puisi:
•    Tebaran Mega (1936)
c.    Yang berupa kumpulan esai tentang bahasa Indonesia
•    Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
d.    Yang berupa antologi (bunga rampai):
•    Puisi lama (1940)
•    Puisi baru (1946)
•    Pelangi
e.    Yang berupa terjemahan
•    Nelayan di Lautan Utara (terjemahan dari Pecheurse d’islande karangan Piccero Loti)
•    Nyanyian Hidup (terjemahan dari The Song of Live karangan Krishnamurti)
•    Niku-Dan (Kurban Manusia); diterjemahkan bersama Subadio Sastrosatomo dari karangan Tadayeshi Sakurai.

2.    Amir Hamzah

        Amir Hamzah lahir di Binjai, 28 Februari 1911, putra Tengku Muhammad Adil yang menjadi pangeran (wakil sultan) da Langkat Hulu, berkedudukan di Binjai yan bergelar Bendahara Paduka Raja. Kemudian atas biaya pamannya yang menjadi Sultan Langkat pada waktu itu, ia melanjutkan studinya di Pulau Jawa. Walaaupun ia memperoleh pendidikan secara Barat, suasana kehidupan istanah yang penuh tradisi dan konvensi itu tidak terlepas sama sekali. Demikian jua dalam karangan-karangannya, ia tidak terlepas dari unsur Melayu dan unsur lam. Bentuk-bentuk puisinya sebagian besar masih menyerupai bentik pantun dan syair.
        Adapun karangan-karangannya yang sudah dibukukan adalah sebagai berikut:
a.    Buah Rindu (kumpulan Puisi, 1941)
b.    Nyanyian Sunyi (kumpulan puisi, 1935)
c.    Setanggi Timur (kumpulan puisi lama dari sastra India, Arab, Cina, Parsi, dan sebagainya)
d.    Bhagawad Gita (prosa terjemahan)
e.    Gitanyali (terjemahan dari karangan Rabindranath Tagore)
f.    Sastra Melayu Lama dan Raja-rajanya (prosa)

3.    Sanusi Pane

Ia dilahirkan di Muara Sipongi, Tapanuli, 14 November 1905. Di dalam beberapa hal, tulisan-tulisan Sanusi Pane menimbulkan kesan adanya kontradiksi-kontradiksi. Hal ini tampak misalnya pada pendapatnya tentangbentuk dan isi, masalah pelaksanaan asas seni dan lain-lain.
Adapun karangan-karangan Sanusi Pane yang sudah diterbitkan ialah:
a.    Pancaran Cinta (prosa berirama, 1926)
b.    Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927)
c.    Maeda Kelana (kumpulan puisi, 1931)
d.    Manusia Baru (drama, 1940)
e.    Arjuna Wiwaha (terjemahan dari bahasa Jawa kkuno kekawi Mpu Kanwa, 1940)
f.    Airlangga (drama dalam bahasa Belanda, 1928)
g.    Damar Wulan (gita pahlawan, bahasa Belanda, 1929)
h.    Eenzame Garudavlucht (drama dalam bahasa Belanda, 1929)
i.    Kertajaya (drama dalam bahasa Indonesia, 1932)
j.    Sandhyakalaning Majapahit (drama dalam bahasa Indonesia 1933)

4.    Armijn Pane

Armijn Pane lahir di Muara Sipongi, Tapanuli, 18 Agustus 1908. Dalam tulisan-tulisannya ia memakai nama samaran yang berbeda-beda, antara lainAdinata, A. Jiwa, A. Made, a. Panji, Empe, dan Karnoto. Karangannya meliputi berbagai macam bentuk: novel, drama, puisi, cerpen, esai, dan bahkan juga karangan pengetahuan tentang tata bahasa. Seperti halnya N. St. Iskandar, masa keiatan Armijn Pane tidak terhenti walaupun usianya telah tua. Ia masih sering menulis cerpen, beberapa diantanya telah dimuat dalam majalah Medan Bahasa (sekarang sudah tidak terbit lagi), meskipun nilai sastranya makin menurun.
Belenggu ialah sebuah roman yang menarik karena yang dilukiskan bukanlah gerak-gerak lahir tokoh-tokohnya, tetapi gerak-gerak batinnya.
Arminj pane sebagai pengarang dalam roman yang berjudul Belenggu ini tidak menyelesaikan ceritanya sebagai kebiasaan-kebiasaan para pengarang sebelumnya, melainkan membiarkannya diselesaikan oleh para pembaca sesuai dengan angan masing-masing. Sebelum menulis roman Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai dan sandiwara. Cerpennya “Barang Tiada Berharga”. Dan sandiwaranya “Lukisan Masa” merupakan prototif buat romannya Belenggu.
Cerpen-cerpennya bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang kemudian dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya tersebar kemudian dikumpulkan juga dan terbit dibawah judul Gamelan Jiwa (1960). Ia pun banyak pula penulis esai tentang sastra yang masih tersebar dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa Belanda, Armijn menulis Kort Overzicht van de moderne Indonesische Literatuur (1949).
Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya. Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan pengarang lainnya.
5.    J. E. Tatengkeng
J. E. Tatengkeng juga termasuk salah seorang penyair religius sama halnya seperti Amir Hamzah. Hanya saja yang membedakan adalah Amir beragama Islam sedangkan J. E. Tangkeng beragama Kristen. Ia juga menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa.
Penyair kelahiran Sangihe ini menulis sebuah buku yang berjudul Rindu Dendam. Puisi pertamanya berjudul Anakku dan masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poedjangga Baroe. Sajak, kritik-kritik, esai-esainya sangat penting terutama karena sifatnya yang tegas dan jujur. Bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang baik menurut norma-norma bahasa Melayu Riau.
Struktur puisinya bebas dari pengaruh pantun dan syair atau bentuk-bentuk puisi melayu lama lainnya.

6.    Asmara Hadi
Sajak-sajaknya penuh romantik dan kesedihan dan dalam sebagian sajaknya lagi terasa semangat perjuangan yang penuh keyakinan. Hal ini di ilhami luka jiwa yang disebabkan oleh kematian cintanya; seperti pada puisi ‘Kusangka Dulu‘, ‘Kuingat Padamu’.
Karangan beliau yang telah diterbitkan:
•    Dibelakang Kawat Berduri (1942)

7.    M. R. Dayoh
Ia juga menaruh minat pada pelukisan kehidupan si kecil. Karyanya antara lain: ‘Syair Untuk A. S. I. B. (1935) dalam bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan lagi kedalam bahasa Indonesia.
8.    A. Hasymy (M. Ali Hasyim)
Ia pernah menjadi ubernur Aceh tahun 1957. Hampir semua sajaknya bernapaskan islam dan mengandung unsur nasional, karangannya adalah:
•    Kisah Seorang Pengembara (kumpulan puisi, 1936)
•    Dewan Sajak (kumpulan puisi, 1940)
•    Bermandi Cahaya Bulan
•    Suara Azan dan Lonceng Gereja
•    Sepanjang Jalan Raya Dunia

9.    Sutomo Jauhari Arifin

Karangannya:
•    Andang Taruna (novel, 1942)

10.    I Gusti Nyoman Putu Tisna

Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat Feodal di Bali. Roman pertama yang dikarang putera bali dalam bahasa Indonesia. Roman keduanya adalah Sukreni Gadis Bali (1936) yang melahirkan kehidupan masyarakat bali yang keras dan kejam, roman ini mendapatkan kritikan yang tidak setuju kepada beberapa kepercayaan masyarakat Bali.

B.    Sastra Periode Tahun ’30 di Luar Pujangga Baru

Teeuw membagi sastra Indonesia sebelum perang menjadi tiga:
A.    sastra Hasil Pujangga Baru
B.    Sastra Penerbitan Balai Pustaka
C.    Sstra barupa seri cerita-cerita roman
Batas antara ketiga golonganitu tidak jelas benar, masing-masing saling melengkapi satu denga yang lain. Walaupun karya Suman Hs. Sebagian masuk golonan satu, setengahnya masuk olonan tiga. Demikian pula Hamka sebagai pengarang ia jarang dimasukkan ke dalam golongan satu atau dua karena hasil sastranya sebagian besar penerbitannya melalui golongan tiga, tetapi karangan-karangannya sebaian bersifat sastra golongan dua.
Sastra periode tahun 1930 di luar Pujangga Baru umumnya berupa seri cerita-cerita roman yang diterbitkan di kota-kota besar, seperti semarang, Padang, Solo, Surabaya, dan yang terutama ialah Medan. Oleh karena itu, sering disebut juga sastra penerbitan Medan.dari cerita-cerita roman adalah penerbitan roman atau novel berjilid-jilid dalam suatu seri dengan nama bermacam-macam, misalnay Seri Roman Indonesia di Padang, Dunia Pengalaman, dan Lukisan Pujangga di Medan, Seri Suasana Baru, Seri Kejora, Seri Panorama, dan lain-lain.
Tidak semua penerbitan seri cerita roman berupa roman picisan, walaupun sebagian besar memang nilai sastranya kurang. Demikian pula seorang pengarang yang telah banyak menulis cerita yang dinilai sebaga roman picisan, tidak berarti bahwa semua karangannya tidak ada yang bernilai sastra. Hal inni perlu ditegaskan untuk menghindari penilaian yang kurang tepat tentangdiri seorang pengarrang dan hasil karyanya.
Berikut pembahasaan tentang para pengarang yang sangat berpengaruh pada sejarah sastra Indonesia.


1.    Hamka
Di luar lingkungan pujangga baru dan Balai Pustaka, ada juga penerbitan-penerbitan sastra, baik prosa berupa roman maupun puisi berupa kumpulan sajak. Dlam lapangan penerbitan roman, untuk tidak menyebutnkan peneribitan roman-roman picisan, kita melihat roman-roman buah tangan hamka yang tadi sudah pernah kita singgung dalam hubungan penulis cerpen.
Hamka ialah putra Haji Abdul Karim Amrullah, seoran ulama pembaharu Islam yang terkemuka di Sumatera Barat yang pernah mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-Zahar di Kairo, Mesir. karena itu, meskuipun Hamka sekolahnya hanya sampai kelas II Sekolah Dsasar saja, namun ia mendapat pendidikan agama dan bahasa Arab yang luas dari Sumatra Thawalib, Parabek (Bukittinggi) dan dari ayahnya. Tahun 1927 Hamka pergi ke Jawa dan belajar lebih lanjut kepada H.O.S. Tjokroaminoto, seorang pemimpin Islam terkemuka di Surabaya. Tahun 1927 ia pergi naik haji ke Mekah dan sepulangnya dari sana ia menjadi guru agama di padang dan turut pula memimpin pergerakan Muahammadijah di sana. Dari sana ia pindah ke medan dan aktif dalam jurnalistik. Ia menulis roman yang mula-mula dimuat sebagai feuilleton dalam majalah yang dipimpinnya. Bahwa seorng ulama menulis roman sangatlah aneh pada saat itu, sehingga timbul heboh. Hal itu menimbulkan pertikaian di kalangan umat Islam sendiri, ada yang pro dan ada yang kontra.
Roman Hamka yang petama berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), mengishkan cinta tak samapi antara dua kekasih yang terhalang oleh adat. Yang membedakan roamn ini dengan kebanyakan roaman adat yang lain ialah karena pengaranya membawa pelakunya ke Mekah dekat Ka’bah. Juga romannya yang kedua Tenggelamnya kapal van der Wijck (1939) mengisahkan cinta tak sampai yang dihalangi oleh adat Minagkabau yang terkenal kukuh itu pula. Dalam roman ini diceritakan tentang Zainuddin seorang anak dari perkawinan cmpuran Minang dengan Makasar tak berhasil mempersunting gadis idamannya karena rapt nidik-mamak tdiak setuju dan menganggap Zainuddin tidak sebagai manusia penuh. Zainuddin kemudian menjadi pengarang dan dalam suatu kecelakaan gadis kecintaanya meninggal dlam kapal yang ditumpanginya. Roman ini menimbulkan heboh pada tahun 1962, kerena ada orang yang menyebutnya roman ini sebagai hasil curian (plagiat). Roman ini disebut sebagai curian dari sebuah karangan pengarang Perancis Alphonse Karr yang penuh disadur ke dalam Bahasa Arab oleh Mustaffa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1924) sorang pujangga Arab-Mesir yang sangat dikagumi Hamka. Karanga Jean Bapitiste Alphonse Karr (1808-1890) yang dlalm bahsa Perancisnya berjudul Sous les Tilleules (Di bawah naungan pohon Tila) (1832) Madjulin. Madjdulin ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahsas Indonesia oleh A.S Alatas berjudul Magdalena (963).
Kecuali kedua roman itu, Hamka pun menulis pula Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939) dan Merantau ke Deli (1939).yang teakhir merupakan suatu kritik pula terhadap adat Minangkabau yang tidak segan-segan merusak kedamaian rumah tangga yang bahagia, karena si suami (orang Mingan) belum menikah secara adat, yaitu menikah dengan seoanrang Minangkabau, sehingga diceraikannyalah istri asal Jawa yang telah hidup bersama membangun rumah tangga bahagia.
Sehabis perang Hamka sempat menulis cerita. Tahun 1950 ia menulis Menunggu Beduk Berbunyi dan sebelum itu menulis Dijemput Mamaknya (1948). riwayat hidupnya sendiri ditulisnya dalam empat jilid dengan judul Kenang-kenangan Hidup (1951-1952). Beberapa cerpennya dimasukkan pula ke dalam Di dalam Lembah Kehidupan.
2.    Matu Mona
Beberapa karangannya antara lain:
•    Harta yang Terpendam
•    Spionagendiest
•    Rol Pacar Merah Indonesia
•    Panggialn Tanah Air
•    Ja Umenek Jadi-Jadian
•    Zaman Gemilang

3.    A. Damhuri
Hasil karyanya adalah:
•    Mayadapa
•    Bergelimang Dosa
•    Depok Anak Pagai
•    Mencari Jodah
•    Terompah Usang yang Tak Sudah Dijahit (1953)

4.    Yusuf sou’yb
Hasil karangannya yang terkenal ialah elang Emas yang terdiri atas beberapa jilid.
5.    Imam Supardi
Karanganya berupa sebuah novel kecil melalui penerbitan di Suranbaya berjudul Kintamani.

BAB III
         PENUTUP
A.    Kesimpulan

1.    Sastra Periode Tahun ’30 Angkatan Pujanga Baru
•    Sutan Takdir Alisjahbah
•    Amir Hamzah
•    Sanusi Pane
•    Armijn Pane
•    J. E. Tatengkeng
•    Asmara Hadi
•    M. R. Dayoh
•    A. Hasymy (M. Ali Hasyim)
•    Sutomo Jauhari Arifin
•    I Gusti Nyoman Putu Tisna

2.   Sastra Periode ’30 di Luar Pujangga Baru
•    Imam Supardi
•    Yusuf sou’yb
•    Damhuri
•    Matu Mona
•    Hamka

B.    Saran

     Kami selaku penyusun makalah ini, menyerahkan kepada seenap pembaca yang budiman untuk mempergunakan makalah ini sebagaimana mestinya. Selanjutnya kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif amat kami harapkan demi kesempurnaan makalah-makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Tanjung, Anton. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Gitamedia       Press.
Sarwadi, Prof. Drs. 2004. Sejarah Sastra, Surabaya: Gama Media








KATA PENGANTAR #

    Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan hasil membaca ini. Laporan ini disusun dengan mengacu pada Penerapan Teknik Power Reading yang meliputi laporan mengenai alokasi waktu yang diperlukan dalam setiap lembar, setiap bab dan keseluruhan isi buku serta membuat gambaran umum mengenai isi buku yang berjudul Profesi Kependidikan melalui sketsa.
Ucapan terimakasih selaku penyusun saya tujukan kepada semua pihak yang telah mendukung dalam penyelesaian laporan ini, terutama kepada dosen mata kuliah Membaca Lanjut yang telah memberikan bimbingan kepada saya yaitu Bapak Dr. Amiruddin Rahim. M. Hum.
Penulis menyadari penyusunan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan masukkan yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan berikutnya sangat diharapkan. Penulis juga berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.



Kendari, 1 November 2012

Penulis,




        DATA  BUKU

Dalam penerapan teknik power reading data buku yang digunakan yaitu:
Judul buku        : Profesi Kependidikan
Pengarang        : Dr. H. Khairil
Jumlah BAB    : XIV bab
Jumlah halaman    : 238  halaman
Penerbit        : Alfabeta



1.    PROSES TRANSFORMASI PENGETAHUAN
1.1    Alokasi  Waktu Membaca Super

1.    Waktu yang saya butuhkan untuk menciptakan gambaran keseluruhan buku Profesi Kependidikan adalah 3 menit dengan membaca anotasi yang terletak di bagian belakang buku.
2.    Untuk melihat manfaat buku, saya butuhkan waktu 10 detik setiap halaman dan saya dapat menarik kesimpulan bahwa buku Profesi Kependidikan sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan saya karena serpihan buku ini sangat layak dibaca oleh mahasiswa yang menekuni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang sangat relevan dengan kondisi yang tengah dihadapi oleh pendidik di Indonesia.
3.    Saya membuat sketsa dari setiap bab, kemudian saya rangkum menjadi satu dan membutuhkan waktu 4 menit setiap bab.
4.    Pada setiap bab beberapa pertanyaan dan rata-rata saya membutuhkan waktu 3 menit setiap bab.
5.    Saya membaca setiap teks dalam buku Profesi Kependidikan dan membutuhkan waktu 7 menit setiap bab. Saya membaca setiap paragraf dengan hanya membaca gagasan utamanya.
6.    Saya ulangi kembali dan meninjau kembali kata-kata sulit yang terdapat dalam sebuah bab. Dan setiap bab saya membutuhkan waktu 3 menit.
7.    Saya juga membuat berbagai catatan-catatan yang saya anggap penting dan setiap bab saya membutuhkan waktu 3 menit.
8.    Saya mengulangi bacaan saya setiap hari dan kembali melihat catatan-catatan bahan selama 10-15 menit setiap hari.

1.    Waktu untuk seluruh buku = 3’+4’+56’+42’+98’+42’+42’+15= 260 Menit/ 4,4 Jam
2.    Waktu untuk setiap BAB    = 20 Menit
3.    Waktu untuk setiap lembar    = 1 Menit
4.    Waktu untuk setiap halaman= 30 Detik



1.2    Memahami Isi Buku
1.    Gambaran umum isi buku

Anotasi
Merujuk pada kurikulum dan aneka silabus profesi kependidikan yang banyak dikembangkan di perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan guru dan tenaga kependidikan, menu sajian buku yang dihadirkan di haribaan pembaca disajikan seperti berikut ini. Pertama, esensi dan ranah profesi kependidikan. Kedua, guru dan tenaga kependidikan profesional. Ketiga, profesi dan prinsip-prinsip profesionalitas. Keempat, pendekatan pelembagaan profesi dan ranah pengembangan keprofesian guru. Kelima, pengembangan profesi dan karir, serta kesamaan hak atas pengembangan profesi dan karir, serta kesamaan hak atas pengembangan. Keenam, prinsip dan jenis kegiatan kengembangan profesi dan karir. Ketujuh, profesionalisasi kidang keadministrasian pendidikan dan keprofesian bidang kekepalasekolahan. Kedelapan keprofesian bidang kepengawasan sekolah serta profesi supervor dan supervisi pembelajaran, termasuk supervisi klinis.kesembilan, keprofesianbidang bimbingan dan konseling serta ketatalaksanaan pendidikan. Kesepuluh tugas keprofesian untuk implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Serpihan-serpihan buku ini sesungguhnya merupakan bahan sajian kuliah penulis ketika mengajar di lembaga masing-masing. Setelah dielaborasi sedemikian rupa, buku ini dikemas untuk khalayak pembaca secara seluas-luasnya. Siapa yang menjadi target utama buku ini? Buku ini layak dibaca oleh mahasiswa yang menekuni matakuliah profesi kependidikan dan matakuliah lain yang relevan. Guru, pengawas sekolah dan kepala sekolah yang akan mengambil manfaat dari buku ini, karena dipandang sangat relevan dengan fungsi mereka sebagai pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik yang banyak berinteraksi dengan peserta didik pada pendidikan anak usia dini (PAUD), dosen, widyaiswara penilik, tutor, instruktur,pamong belajar, penyuluh, dan lain-lain diundang untuk membaca buku ini, khususnya berkaitan dengan isu-isu keprofesian pendidikan dalam kerangka berinteraksi dengan peserta didik atau peserta pelatihan. Oleh karena menu sajian buku berkaitan dengan masalah keprofesian, tentu saja semua pihak akan memperoleh manfaat tersendiri dengan membaca buku ini.

2.    Manfaat Buku
Buku Profesi Kependidikan sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan saya karena serpihan buku ini sangat layak dibaca oleh mahasiswa yang menekuni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang sangat relevan dengan kondisi yang tengah dihadapi oleh pendidik di Indonesia.

3.    Sketsa buku keseluruhan






4.    Pertanyaan dari setiap bab
BAB I Esensi dan Ranah Profesi Kependidikan   
a.    Jelaskan ranah profesi kependidikan!
b.    Apa peran guru dan tenaga kependidikan?
c.    Sebutkan  prinsip-prinsip profesi kependidikan!
BAB II Pendekatan Pelembagaan Profesi
a.    Apa itu pendekatan karakteristik?
b.    Bagaimana pendekatan institusional?
c.    Bagaimana pendekatan legalistik?
BAB III Ranah Pengembangan Keprofesian Guru   
a.    Apa saja yang termuat dalam penyediaan guru?
b.    Jelaskan apa yang dimaksud dengan induksi guru pemula!
c.    Bagaimana profesionalisasi guru berbasis lembaga?
d.    Bagaimana profesionalisasi guru  berbasis individu?
BAB IV Pengembangan Profesi dan Karir
a.    Jelaskan apa yang dimaksud dengan fokus pengembangan?
BAB V Prinsip dan Jenis Kegiatan Pengembangan
a.    Jelaskan prinsip-prinsip pengembangan!
b.    Sebutkan jenis-jenis kegiatan pengembangan!
BAB VI Peran dan Tugas Guru   
a.    Apa saja peran guru di sekolah?
b.    Sebutkan perluasan peran guru!
c.    Apa saja tugas guru?
BAB VII Profesionalisasi Bidang Keadministrasian Pendidikan
a.    Apa esensi administrasi pendidikan?
b.    Jelaskan yang dimaksud dengan administrasi atau manajemen pendidikan!
c.    Sebutkan dua pendekatan keadministrasian pendidikan!
BAB VIII Keprofesian Bidang Kekepalasekolahan
a.    Apa fungsi kepala sekolah
b.    Apa saja langkah-langkah dalam peningkatan mutu?
BAB IX Keprofesian Bidang Kepegawaian Sekolah
a.    Apa saja tugas pokok kepala sekolah?
b.    Sebutkan kewenangan kepala sekolah
BAB X Profesi Supervor dan Supervisi Pembelajaran
a.    Definisikan supervisi!
b.    Sebutkan tujuan supervisi!
BAB XI Profesi Supervisor Klinis untuk Perbaikan Pembelajaran
a.    Sebutkan definisi supervisi klinis!
b.    Sebutkan prinsip-prinsip supervisi klinis!
BAB XII Keprofesian Bidang Bimbingan dan Konseling
a.    Apa yang di maksud dengan urgensi layanan guru bimbingan konseling!
b.    Bagaimana pengawas bimbingan dan konseling!
BAB XIII Keprofesian Bidang Ketatalaksanaan Pendidikan
a.    Sebutkan esensi penatalaksanaan sekolah!
b.    Apa fungsi tatalaksana sekolah
BAB XIV Tugas Keprofesian untuk Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
a.    Sebutkan definisi dan prinsip KTSP!
b.    Sebutkan langkah-langkah pengembangan silabus!


5.    Membaca Setiap Paragraf dengan Hanya Membaca Gagasan Utamanya
Beberapa gagasan utama yang saya simpulka setelah membaca buku Profesi Kependidikan adalah:
1.    Ruang lingkup ranah profesi kependidikan
2.    Jenis-jenis tenaga kependidikan
3.    Tugas –tugas yang diemban pendidik
4.    Guru sebagai tenaga kependidikan yang profesional
5.    Kedudukan guru dalam pendidikan
6.    Peningkatan kompetensi guru
7.    Pentingnya profesionalitas guru
8.    Kemampuan penguasaan materi oleh pendidik
9.    Kriteria kompetensi guru
10.    Perlindungan hukum terhadap profesi guru
11.    Pendidikan adalah instrumen terpenting
12.    Penyandang profesi disebut profesional
13.    Fungsi Pendidikan institusional
14.    Fungsi Pendekatan legalistik
15.    Kompetensi guru adalah faktor terpenting dalam efektifitas pembelajaran
16.    Ranah pengembangan guru
17.    Guru harus memiliki kualifikasi akademik
18.    Induksi guru pemula
19.    Tujuan dan sasaran pendidikan dan pelatiha guru
20.    Profesionalisasi guru berbasis individu
21.    Ciri-ciri umum guru profesional
22.    Kode etik guru Indonesia
23.    Pengembangan profesi dan karir
24.    Pendididkan pelatihan dan pengembangan kompetensi guru
25.    Fokus pengembangan kompetensi guru
26.    Kompetensi kepribadian guru
27.    Kompetensi profesional guru

6.    Meninjau Kata-Kata Sulit yang Terdapat Dalam Sebuah Bab


7.    Membuat Berbagai Catatan-Catatan yang Dianggap Penting

BAB I  Esensi dan Ranah Profesi Kependidikan   
Tenaga kependidikan termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas yaitu:
1.    Tenaga kependidikan terdiri atas tenaga pendidik, pengelola satuan pendididkan penilik, pengawas, peneliti, dan pengembang di bidang pendidik, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, dan penguji.
2.    Tenaga pendidik terdiri atas pembimbing, pengajar dan pelatih.
3.    Pengelola satuan pendidikan terdiri atas kepala sekolah, direktur, ketua, rektor dan pimpinan satuan pendidikan luar sekolah.
BAB II Pendekatan Pelembagaan Profesi
Menurut R.D. Lansbury dalam Professionals and Management (1978) dalam konteks profesionalisasi istilah profesi dapat dijelaskan dengan tiga pendekatan (approach), yaitu pendektan karakteristik, pendekatan institusional, dan pendekatan legalistik.
BAB III Ranah Pengembangan Keprofesian Guru








BAB IV Pengembangan Profesi dan Karir
Alasan esensial mengapa diperlukannya pembinan dan pengembangan guru adala karakteristik tugas yang terus berkembang seirama dengan perkembangan iptek, di samping reformasi internal pendidikan itu sendiri. Secera umum kegiatan ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu metode-metode praktis (on-the-jobtraining and development)dan teknik-teknik prestasi atau metode-metode simulasi (off-the-job training and development).
8.    Mengulangi Bacaan Setiap Hari

Saya mengulangi bacaan saya setiap hari dan kembali melihat catatan-catatan bahan selama 10-15 menit setiap hari.

2.    KESIMPULAN
Dari laporan hasil bacaan yang telah saya tulis yang mengacu pada teknik Power Reading, dapat ditarik beberapa kesimpulan, di antaranya:
1.    Metode power reading  ini sangat membantu saya menguasai isi buku yang berjudul Profesi Kependidikan.
2.    Kecepatan saya dalam membaca buku Profesi Kependidikan dengan metode power reading adalah:
a.    Waktu untuk seluruh buku = 3’+4’+56’+42’+98’+42’+42’+15= 260 Menit/ 4,4 Jam
b.    Waktu untuk setiap BAB    = 20 Menit
c.    Waktu untuk setiap lembar    = 1 Menit
d.    Waktu untuk setiap halaman    = 30 Detik

3.    SARAN

Saya menyarankan kepada pembaca untuk menggunakan metode ini karena memiliki banyak kelebihan. Dengan menggunakan metode power reading kita dapat lebih cepat memahami isi buku dengan total dan terperinci karen disertai dengan catatan dan bagan-bagan yang membantu kiat agar lebih mampu menguasai isi buku dengan waktu yang relatif singkat.

BAHASA DAN MASYARAKAT #
1.        Bahasa dan Tutur
            Ferdinand de Saussure (1916) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa Perancis itu mempunyai pengertian yang sangat berbeda. Dalam bahasa Indonesia, lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Dalam bahasa Perancis istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langage ini bersifat abstrak.
            Istilah kedua dari Ferdinand de Saussure yakni langue dimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu. Sama dengan langage yang bersifat abstrak langue juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun langage adalah suatu sistem pola, keteraturan, atau kaidah yang ada atau dimiliki manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
            Berbeda dengan langage dan langue yang bersifat abstrak, maka istilah yang ketiga yaitu parole bersifat konkret, karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Jadi, sekali lagi parole itu tidak bersifat abstrak, nyata ada dan dapat diamati secara empiris.
            Perlu diketahui bahwa yang menjadi objek studi linguistik adalah langue sebagai satu sistem bahasa tertentu, tetapi dilakukan melalui parole. Mengapa? Karena parole inilah yang dapat diobservasi secara empiris. Langue itu tidak dapat diamati secara empiris karena sifatnya yang abstrak; padahal setiap penelitian harus dilakukan melalui data empiris itu.
            Dari pembahasan mengenai ketiga istilah di atas terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang sangat berat, karena selain menanggung konsep istilah langage, langue, dan parole itu, juga menanggung konsep atau pengertian lain. Contoh penggunaan bahasa dapat kita lihat dari kalimat-kalimat berikut !
-          Sesama aparat penegak hukum haruslah ada kesamaan bahasa, agar keputusan yang diambil tidak bertentangan.
-          Bahasa militer tak perlu digunakan dalam menghadapi kerusuhan di sana.
-          Nyatakanlah rasa cintamu dalam bahasa bunga. Hasilnya pasti akan lebih baik.
-          Sang Raja yang sedang dimabuk kemenangan itu tidak mengetahui bahasa sang permaisuri telah tiada.
-          Agak sukar juga berbicara dengan orang yang gila-gila bahasa itu.
Kelima kata bahasa di atas tidak ada hubungannya baik dengan kata langage, langue, maupun parole. Yang pertama berarti ‘kebijakan, pandangan’; yang kedua berarti ‘cara’; yang ketiga berarti ‘alat komunikasi’; yang keempat berarti ‘bahwa’; dan yang kelima berarti ‘agak’.
            Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarak tertentu ini memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti barangkali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya, penduduk yang berada di Banyumas, di Semarang dan di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.
            Adanya saling mengerti antara penduduk di Banyumas, Semarang, dan Surabaya adalah karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk di Banyumas dengan penduduk di Garut Selatan tidak ada saling mengerti di antara mereka sesamanya. Karena parole-parole yang digunakan di antara penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem. Perbedaan itu menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti, menandai adanya dua sistem langue yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan di kedua penduduk tersebut kita menyebutnya ada dua buah sistem langue, yaitu bahasa Jawa di Banyumas dan bahasa Sunda di Garut Selatan.
            Dengan demikian kita menyebut dua parole dari dua masyarakat yang berbeda sebagai dua buah bahasa yang berbeda adalah karena tiadanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini adalah berdasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai kasus ada ditemui adanya dua masyarakat bahasa yang bisa saling mengerti, tetapi menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan nama yang berbeda. Misalnya, penduduk Malaysia dan Penduduk Indonesia. Karena penduduk Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia karena secara linguistik ada persamaan sistem dan subsistem di antara kedua parole yang digunakan, namun penduduk Malaysia menyatakan dirinya berbahasa Malaysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya berbahasa Indonesia. Maka dalam kasus ini penamaan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia bukanlah berdasarkan kriteria linguistik, melainkan berdasarkan kriteria politik.
            Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita akrab dengan seseorang kita akan dapat mengenali orang itu hanya dengan mendengar suaranya saja (orangnya tidak nampak). Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek.
Dari penjelasan di atas, secara linguistik dapat disimpulkan bahwa:
-          Setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek.
-          Dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti, tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda. Contohnya bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia.

2.        Verbal Repertoires
Verbal repertoire sebenarnya ada dua macam yaitu yang memiliki setiap penutur secara individual, dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan. Yang pertama mengacu pada alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Yang kedua mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam suatu masyarakat, beserta dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro. Sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro (Appel 1976: 22).

3.        Masyarakat Tutur
Masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Satu hal lagi, untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya perasaan di antara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang sama. (Lihat Djokokentjono 1982).
Fishman (1976:28) menyebut “masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya”. Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang.
Kompleksnya suatu masyarakat tutur ditentukan oleh banyaknya dan luasnya variasi bahasa di dalam jaringan yang di dasari oleh pengalaman dan sikap para penutur di mana variasi itu berada. Verbal repertoir suatu masyarakat tutur merupakan refleksi dari repertoir seluruh penuturnya sebagai anggota masyarakat itu (Fishman 1975: 32). Refleksi ini menyangkut luas jangkauan, pedalaman, pemahaman, dan keluwesan repertoir itu.
Dilihat dari sempit dan luas repertoirnya, dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur, yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakainya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula; dan (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.
4.        Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat
Pokok pembicaraan sosiolinguistik adalah hubungan antara bahasa dan penggunaannya di dalam masyarakat. Hubungan yang terdapat di antara bahasa dengan masyarakat adalah adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat. Misalnya, untuk kegiatan pendidikan kita menggunakan ragam baku, dan untuk kegiatan mencipta karya seni (puisi atau novel) kita menggunakan ragam sastra.Adakah hubungan antara bahasa dengan tingkatan sosial di dalam masyarakat ? Untuk jawabannya, kita lihat dulu apa yang dimaksud dengan tingkatan sosial di dalam masyarakat itu. Adanya tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan, kalau ada; dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula. Tetapi ini tidak mutlak. 
            Untuk melihat adakah hubungan antara kebangsawanan dan bahasa, kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa. Mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat (1967:245) membagi masyarakat Jawa atas empat tingkat, yaitu (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, dan (4) ndara. Berdasarkan tingkat-tingkat itu, maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat sosialnya. Jadi, bahasa atau ragam bahasa yang digunakan di kalangan wong cilik tidak sama dengan wong sudagar, dan lain pula dari bahasa yang digunakan para priyayi. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial; lazim juga disebut sosiolek (Nababan 1984). Selain itu, pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Contoh, kalau si penanya mempunyai status sosial yang lebih rendah dari si penjawab, maka biasanya digunakan bentuk krama, sedangkan si penjawab menggunakan bentuk ngoko; kalau si penanya mempunyai status sosial yang lebih tinggi dari si penjawab, maka dia menggunakan bentuk ngoko, sedangkan si penjawab menggunakan bentuk krama; kalau status sosial penanya dan penjawab sederajat, maka si penanya menggunakan bentuk krama, si penjawab pun menggunakan bentuk krama; dan si penanya menggunaka bentuk ngoko maka si penjawab pun menggunakan bentuk ngoko.
            Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa memang ada korelasi antara tingkat sosial di dalam masyarakat dengan ragam bahasa yang digunakan. Lalu, sejalan dengan kesimpulan itu, adanya hubungan antara kode bahasa dengan kelas sosial penuturnya, barangkali perlu juga dikemukakan adanya teori dari Basil Bernstein yang dikenal dengan Deficit Hypotesis (Nababan 1984 menyebutnya Hipotesis kerugian).
            Teori ini yang mengangkat nama Bernstein menjadi terkenal sejak 1959 didasarkan atas adanya perbedaan kode bahasa yang digunakan golongan rendah dan golongan menengah. Anak-anak golongan menengah menggunakan variasi atau kode bahasa yang berbentuk lengkap di rumah, sedangkan anak-anak golongan buruh rendah dibesarkan dalam lingkungan variasi bahasa yang terbatas, atau tidak termasuk lengkap. Di dalam pendidikan formal di sekolah digunakan sebagai bahasa pengantar bahasa ragam baku yang mirip atau dekat dengan variasi bahasa yang berbentuk lengkap. Oleh karena itu, anak-anak dari golongan buruh rendah harus mempelajari bahasa ragam baku di luar pelajaran-pelajaran lain. Mereka menjadi dirugikan dengan latar belakang bahasa mereka yang berbentuk tidak lengkap itu. Jadi, teori Bernstein ini menyatakan ada hubungan antara keberhasilan dalam belajar di sekolah dengan latar belakang kebahasaan anak-anak dalam lingkungannya di rumah. Namun banyak pakar yang tidak sependapat dengan teori tersebut, sebab keberhasilan dalam belajar tidaklah mutlak tergantung pada faktor penguasaan bahasa, melainkan banyak faktor lain (seperti motivasi, intelegensi, dan keadaan sosiokultural) yang turut menentukannya.












KESIMPULAN
Pokok pembicaraan sosiolinguistik adalah hubungan antara bahasa dengan penggunaannya dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan hubungan tersebut adalah adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat. Misalnya, untuk kegiatan pendidikan kita menggunakan ragam baku, dan untuk kegiatan mencipta karya seni (puisi atau novel) kita menggunakan ragam sastra.
Ferdinand de Saussure membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole yang berasal dari bahasa Perancis. Karena dalam bahasa Indonesia lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Langage dan langue bersifat abstrak, sedangkan parole bersifat konkret atau nyata.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro. Sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional dan sosiolinguistik makro.